Monday, November 3, 2014

Lingga, Kopi Khas Dataran Tinggi Samigaluh, Kulonprogo

Channel Kopi - ARABIKA dan Robusta adalah jenis kopi yang sudah umum terdengar dan bisa ditemui di mana saja. Namun ada yang berbeda saat kedua jenis kopi itu dibudidayakan oleh petani di Desa Nglinggo, Kecamatan Samigaluh, Kulon-progo. Ada sensasi tersendiri saat menghirupnya.

“Minum kopi atau air putih Mas, kok sudah habis dua gelas. Gak papa silakan dinikmati,” seloroh salah seorang petani kopi warga Desa Nglinggo saat dikunjungi sejumlah war-tawan di rumah produksi kopi desa setempat (30/10)

Kecamatan Samigaluh memang sangat cocok untuk budidaya tanaman kopi. Berada di dataran tinggi sekitar 800 di atas permu-kaan laut (dpl) membuat tanaman kopi mampu tumbuh dan ber-buah sempurna.

Sementara itu salah satu keunggulan kopi pro-duksi warga Samigaluh ini ada-lah cita rasa yang khas. Ini tidak lepas dari kegigihan petani yang kekeuh memilih membudidaya kopi secara or-ganik.

Berkebun kopi, bagi warga Samigaluh bukan hal yang tabu dan baru. Pasalnya, sejak zaman dulu warga sudah biasa membudidayakan kopi.

“Kalau dulu di sini lebih dike-nal dengan kopi Tiyungke (isti-lah Jawa di-tiyung-ke, Red). Jadi dulu pohon kopi di sini warisan leluhur, umurnya puluhan tahun, pohonnya tinggi-tinggi. Kalau mau memetik batangnya harus ditarik atau dirundukkan, maka terkenalnya kopi Tiyungke,” je-las Teguh Kumoro, Ketua Kelom-pok Tani Mekar Tani di Desa Nglinggo.

Teguh menjelaskan, saat ini para petani kopi di desanya mu-lai bergairah, terlebih setelah mendapat teknik budidaya kopi secara lebih baik. Petani kopi di daerah itu sebetulnya bermim-pi bisa memproduksi kopi se-cara masif dan banyak. Namun dengan semangat memperta-hankan pola organik, warga juga cukup detail dalam melin-dungi atau mempertahankan cita rasanya.

“Kami menggunakan pupuk organik tanpa campuran bahan kimia sedikit pun. Semua itu juga atas anjuran pemerintah,” jelasnya.

Diterangkan Teguh, perkebunan kopi di Desa Ng-linggo luasnya mencapai 25 hektare. Pada tahun 2010 pe-tani sempat mendapat bantuan 25 ribu bibit pohon kopi dari pemerintah, dan semua berha-sil dibudidayakan.

“Sekarang kopi bantuan itu sudah tumbuh baik, dengan produktivitas mencapai lima ton per tahun. Harga jualnya juga sangat stabil, yakni Rp 20 ribu per kilogram,” jelasnya.

Teguh mengungkapkan, warga setempat mengelola kopi se-cara swadaya, termasuk dalam proses pengemasan dan pema-saran. Upaya itu terbukti cukup ampuh untuk menjaga stabilitas harga dan mendongkrak harga jual.

“Kopi bubuk seberat 100 gram dijual seharga Rp 15 ribu. Kami juga menjual paket home stay bagi pengunjung atau wisatawan yang ingin merasakan kesejukan alam di sini. Mereka juga ber-kesempatan mengolah, meramu dan meracik kopi sendiri,” ung-kapnya.

Menurut Teguh, budidaya kopi secara organik memang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Khususnya saat melihat produktivitas kopi yang lambat. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari data Dinas Perta-nian dan Kehutanan (Disper-tanhut) Kulonprogo.

“Produksi kopi di Kulonprogo tidak stabil dan sangat bergantung pada luas panen, hal itu tidak terlepas dari pola tanam organik. Saat ini, setiap hektare lahan kopi baru menghasilkan sekitar 8,5 kuintal, padahal potensi pa-nen kopi di Kulonprogo dapat mencapai 14 kuintal per hec-tare,” terang Widiastuti, Kabid Perkebunan Dispertanhut Ku-lonprogo.

Widiastuti mengamini, lam-batnya produksi kopi memang sudah menjadi risiko dalam metode budidaya kopi organik. Kenaikan produksi kopi tidak bisa digenjot secara signifikan.

‘Kopi dari Samigaluh ini me-mang tergolong andalan di Kulonprogo, kendati ada be-berapa kecamatan yang juga membudidayakan kopi seper-ti di Kecamatan Girimulyo, Pengasih, dan Nanggulan,” be-bernya.

No comments:

Post a Comment